HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
UUD
1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil
kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada
legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,
hasil-hasil perubahan
UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD
1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat
kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan.
UUD
1945 memuat baik cita-cita, dasar-dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan
negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional
yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b. Memajukan kesejahteraan umum;
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan
sosial.
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b. Memajukan kesejahteraan umum;
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan
sosial.
Untuk
mencapai cita-cita tersebut, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya
mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal itu
karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara
penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi
politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, dan konstitusi sosial yang
harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh
negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).
Keseluruhan
kesepakatan yang menjadi materi konstitusi pada intinya menyangkut prinsip
pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara guna mewujudkan tujuan nasional.
Karena itu, menurut William G. Andrews,
“Under constitutionalism, two types of limitations impinge on government.
Power proscribe and procedures prescribed”.
Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama
lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara;
dan Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan
lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimaksudkan
untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu:
a. Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara,
b. Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan
c. Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
a. Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara,
b. Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan
c. Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Dengan
demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah
pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena kekuasaan
negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang lembaga negara.
Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga
negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta
hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara dan hubungan
antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut.
Trend Perubahan Kelembagaan Negara
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul gelombang
liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar-besaran di seluruh penjuru
dunia. Di bidang politik, muncul gerakan demokratisasi dan hak asasi manusia
yang sangat kuat di hampir seluruh dunia. Penggambaran yang menyeluruh dan
komprehensif mengenai hal ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington
dalam tulisannya “Will More Countries Become Democratic?” (1984).
Dalam tulisan ini, Huntington menggambarkan adanya tiga gelombang besar
demokrasi sejak revolusi Amerika Serikat tahun 1776. Gelombang pertama
berlangsung sampai dengan tahun 1922 yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa
besar di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Setelah itu,
gerakan demokratisasi mengalami backlash
dengan munculnya fasisme, totalitarianisme, dan stalinisme terutama di Jerman
(Hitler), Italia (Musolini), dan Rusia (Stalin).
Gelombang kedua
terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, fasisme dan totalitarianisme
berhasil dihancurkan, pada saat yang sama muncul pula gelombang dekolonisasi
besar-besaran, menumbang imperialisme dan kolonialisme. Karena itu, dikatakan
bahwa Perang Dunia II berakhir bukan hanya dengan kemenangan negara pemenangnya
sendiri, melainkan dimenangkan oleh ide demokrasi, baik di negara-negara
pemenang Perang Dunia Kedua itu sendiri maupun di negara-negara yang kalah
perang dan semua negara bekas jajahan di seluruh dunia, terutama di benua Asia
dan Afrika.Namun,
gelombang kedua ini mulai terhambat laju perkembangannya sejak tahun 1958
dengan munculnya fenomena rezim bureaucratic
authoritarianism di mana-mana di seluruh dunia. Backlash kedua ini timbul karena dinamika internal yang terjadi di
masing-masing negara yang baru merdeka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan
yang tersentralisasi dan terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan negara.
Gejala
otoritarianisme itu berlangsung beberapa dasawarsa, sebelum akhirnya ditembus
oleh munculnya gelombang demokrasi ketiga, terutama sejak tahun 1974, yaitu
dengan munculnya gelombang gerakan pro demokrasi di Eropa Selatan seperti di
Yunani, Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan oleh negara-negara Amerika Latin
seperti di Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung pula di Asia,
seperti di Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir,
puncaknya gelombang demokrasi melanda pula negara-negara Eropa Timur dan Uni
Soviet yang kemudian berubah dari rezim komunis menjadi demokrasi.
Sementara itu,
gelombang perubahan di bidang ekonomi juga berlangsung sangat cepat sejak tahun
1970-an. Penggambaran mengenai terjadinya Mega
Trends seperti yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene
memperlihatkan dengan jelas bagaimana di seluruh dunia, negara-negara intervensionist
di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengurangi campur tangannya dalam
urusan-urusan bisnis. Sejak tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan
debirokratisasi besar-besaran di Inggris, di Perancis, di Jerman,
di Jepang, dan di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa
oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap badan usaha yang sebelumnya dimiliki
dan dikelola oleh negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar