A. USAHA PEMBERANTASAN KKN


Upaya pemberantasan korupsi yang selama lebih dari 40 tahun telah dilakukan, baik pada era Orde Lama dan Orde Baru, maupun pada era reformasi sekarang ini, belum menunjukkan hasil seperti yang kita harapkan. KKN yang merupakan penyakit kronis Orde Baru, berkembang menjadi neo-KKN di orde transisi sekarang ini. Sebenarnya pemberantasan KKN telah menjadi agenda utama gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggungjawab yang ditetapkan sejak tahun 1998 antara lain adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi adalah antara lain Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaandan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; PP Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; PP Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 yang intinya menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan ketentraman hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan pada hukum dan berpihak pada keadilan. Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Istimewa tahun 1998, telah mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/I998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan tersebut antara lain menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dengan melaksanakansecara konsisten Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Suharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia. Untuk mencegah praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme, ditentukan pula bahwa seseorang yang menjabat suatu jabatan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara. Sebagai pelaksanaan ketetapan MPR tersebut, di samping dibentuk Undang-undang baru, juga dilakukan pembaharuan atas Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 1971. Undang-Undang baru yang dibentuk adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang disahkan tanggal 18 Mei 1999.
 
Undang-Undang ini antara lain menentukan pula kewajiban setiap penyelenggara negara untuk :
(1) mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
(2) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
(3) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
(4) tidak melakukan KKN;
(5) melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan;
(6) melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela; dan
(7) bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN, serta dalam perkara lainnya.

Selanjutnya Undang-Undang tersebut menjelaskan maksud dari
penyelenggara negara yang bersih yaitu adalah penyelenggara negara yang
menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Asas-asas
umum penyelenggaraan negara dimaksud meliputi :

(1) Asas Kepastian hukum;
(2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
(3) Asas Kepentingan Umum;
(4) Asas Keterbukaan;
(5) Asas Proporsionalitas;
(6) Asas profesionalitas, dan
(7) Asas Akuntabilitas.

Kemudian untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, Presiden selaku Kepala Negara berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 1999 membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara, sebagai lembaga independen yang dalam pelaksanaan tugasnya bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, Iegislatif dan yudikatif. Keanggotaan komisi ini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat; dan terdiri dari Sub Komisi eksekutif, legislatif: yudikatif dan BUMN/BUMD. Hasil-hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa disampaikan kepada Presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Khusus hasil-hasil pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat di lingkungan yudikatif juga disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan DPR, untuk masa jabatan 5 tahun. Selain itu untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini secara tegas menuangkan keinginan untuk
memberantas praktik korupsi; antara lain dengan dimuatnya secara lebih tegas tentang unsur suap, dan juga tentang tindak pidana suap lain yang disebut sebagai gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan tugas. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas, penginapan, perjalanan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan mempergunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dengan pencantuman gratifikasi tersebut, makin jelas bahwa berbagai fasilitas yang selama ini diragukan sebagai suatu pelanggaran atau penyelewengan menjadi jelas, yaitu semua itu termasuk kategori suap yang dapat diusut. Dalam suatu negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Yang dimaksud dengam supremasi hukum adalah keberadaan hukum yang dibentuk melalui proses yang demokratis dan merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara dan masyarakat luas, sehingga pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas dari praktek KKN dan perbuatan tercela lainnya. Dengan demikian, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu upaya reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan good governance. Kondisi saat ini, memperlihatkan bahwa pembahasan mengenai masalah penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang berbentuk KKN, meskipun cukup komprehensif dan disertai peraturan perundang-undangan yang lengkap dan bagus sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, namun belum nampak dilakukan penganan yang serius oleh pemerintah. Selain itu, belum berhasilnya pemberantasan korupsi meskipun sudah ada perangkat hukum yang bagus dan dilengkapi dengan berbagai lembaga penangkal korupsi yang juga cukup banyak seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pengawasan Fungsional -- BPKP, Bawasda, Inspektorat --, Pengawassn Melekat (Waskat), dan Pengawasan Masyarakat (Wasmas), disebabkan antara lain belum adanya persamaan persepsi antara penegak hukum dalam memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut, dan belum mantapnya penyelenggaraan fungsi lembaga-lembaga penangkal korupsi. Sesungguhnya kondisi yang mendukung upaya untuk mencari solusi yang tuntas terhadap masalah besar ini telah tersedia, yaitu tingkat kritis masyarakat yang tidak lagi tabu untuk membuka borok penyelewengan atau KKN. Transparansi Semakin menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar, masyarakat semakin tergugah untuk menuntut keadilan, kebenaran, dan pemerintahan yang bersih. Masyarakat semakin memiliki keberanian untuk mengungkapkan masalah-masalah yang semula hanya menjadi bahan gunjingan. Namun demikian, dalam keadaan masih lemahnya moralitas, tradisi atau budaya disiplin, dan patuh hukum dari penyelenggara negara termasuk penegak hukumnya dan masyarakat, dan selama hukum kita belum dapat benar-benar melindungi semua orang secara adil, selama hukum masih bisa dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa atau kelompoknya atau yang mampu dan bersedia membayar, maka reformasi birokrasi akan berjalan timpang dan sulit untuk mewujudkan good governance yang kita cita-citakan. 
 
sistem administrasi negara dan birokrasi secara tepat, sesuai dengan tantangan lingkungan stratejik (internal dan eksternal) yang dihadapi, dan bertitik berat pada peningkatan “daya guna, hasil guna, bersih, dan bertanggung jawab, serta bebas KKN”, disertai pula upaya-upaya perubahan perilaku secara mantap.
Dengan demikian, tuntutan akan reformasi birokrasi mengandung makna perlunya langkah-Iangkah pendayagunaan bukan saja 
  1. Terhadap sistem birokrasi dan birokrat, tetapi juga 
  2. Langkah-Iangkah serupa pada berbagai institusi dan individu di luar birokrasi, baik publik maupun private, termasuk
  3. Lembaga-lembaga negara dan berbagai lembaga, yang berkembang dalam masyarakat, beserta segenap personnelnya; dan 
  4. Semuanya itu dilakukan secara sinergis dengan semangat “mengembanperjuangan yang diamanatkan konstitusi”, dan mengindahkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik.
Reformasi birokrasi dalam skim “pembangunan sistem administrasi
negara” seperti di atas, memerlukan strategi dan program aksi yang terarah pada
proses perubahan dan pencapaian sasaran yang pada pokoknya meliputi, 
  1. Aktualisasi tata nilai, yang melandasi dan menjadi acuan perilaku sistem dan proses adminsitrasi negara dan birokrasi, yang terarah secara pada pencapai tujuan bangsa dalam bernegara,
  2. Struktur (tatanan kelembagaan negara dan masyarakat pada setiap satuan wilayah), (c) proses manajemen dalam keseluruhan fungsinya, dalam dinamika kegiatan dan entitas publik dan private (business and society), 
  3. Sumber daya aparatur yang berada pada struktur dengan posisi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu. Semua itu dikembangkan dalam rangka mengemban perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI, terwujudnya kepemerintahan yang baik, berdaya guna,
    berhasil guna, bersih, bertanggung jawab, dan bebas KKN.
A. Transformasi nilai
 
Tata nilai dalam suatu sistem berperan melandasi, memberikan acuan, menjadi pedoman perilaku, dan menghikmati eksistensi dan dinamika unsur-unsur lainnya dalam sistem administrasi negara termasuk birokrasi. Reformasi birokrasi yang hendak dilakukan pertama-tama harus menjaga konsistensinya dengan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara yang menjadi dasar eksistensi dan acuan perilaku sistem dan proses administrasi negara bangsa ini. Reformasi birokrasi harus merefleksikan transformasi nilai. Dasar kegitimasi eksistensi setiap individu dan institusi di negeri ini adalah kompetensi dan kontribusinya masing-masing dalam mengaktualisasikan dan mewujudkan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi kita. Dalam pembukaan UUD 1945 terkandung dimensi-dimensi nilai, yang secara keseluruhan terdiri dari dimensi spiritual, berupa pengakuan terhadap eksistensi, kemahakekuasaan, dan curahan rahmat Allah SWT dalam perjuangan bangsa (pada aline tiga); dimensi kultural, berupa landasan falsafah negara yaitu Pancasila.; dan dimensi institusional, berupa cita-cita (alinea dua) dan tujuan bernegara, serta nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk negara dan sistem penyelenggaraan pemerintahannegara(alinea empat).4 Penempatannya dalam konstitusi, menjadikannya sebagai nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa, yang harus diwujudkan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan dalam hubungan antar bangsa;, sebagai acuan pokok dalam pengembangan “visi, misi, dan strategi” bagi setiap individu dan nstitusi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa dewasa ini dan di masa datang. Dimensi-dimensi nilai itu pulalah yang harus kita aktualisasikan dalam dan melalui reformasi birokrasi dalam berbagai aspeknya, dengan penyusunan visi, misi, dan strategi yang tepat dan efektif dalampencapaian kinerja yang terarah pada pencapaian tujuan bernegara. 
 
Penataan Organisasi dan Tata Kerja. Penataanorganisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas, ramping, desentralistik, efisien, efektif, berpertanggung jawaban, terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan jelas satu, sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional dalam SANKRI. Seiring dengan itu, penyederhanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur, serta antara aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha berorientasi pada kriteria dan mekanisme ang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima (peningkatran efisiensi dan mutu pelayanan); peningkatan kesejahteraan sosial dalam arti luas; serta peningkatan kreativitas, otoaktivitas, dan produktivitas nasional.  
 
Pemantapan Sistem Manajemen Dengan makin meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan kegiatan pembangunan, pengembangan sistem manajemen pemerintahan perlu 4Konstitusi negara kita menegaskan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, berbentuk negara kesatuan dengan sistem dan proses kebijakan yang mengakomodasikan peran masyarakat yang luas (terbuka, partisipatif, dan akuntabel). Pengambilan keputusan politik yang strategis dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, itu dilakukan bersama secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan [MPR; DPR(D)] sebagai representasi rakyat bangsa dari dan di seluruh wilayah negara yang terbagi atas daerah besar (provinsi) dan kecil (Kabupaten/Kota, dan Desa) dengan kewenangan-kewenangan otonomi tertentu. Berbagai kebijakan pemerintahan tersebut kemudian dituangkan dalam peraturan perundangan tertentu (Ketetapan MPR, UU, PP, Perpu, Keppres, dan Perda). Undang-Undang, PP dan Perda tentang substansi masalah publik tertentu ditetapkan pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR(D) dan pelaksanaannya harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebagai kebijakan yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa untuk mencapai tujuan bernegara, keseluruhannya harus terjaga keserasian dan keterpaduanya satu sama lain. Dari sini kita melihat dimensi penting lainnya yang terkandung dalam dimensi-dimensi nilai SANKRl yaitu “kepastian hukum, demokrasi, kebersamaan, partisipasi, keterbukaan, desentralisasi kewenangan serta pengawasan dan pertanggungjawaban”. (Mustopadidjaja AR, 2001). diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang berkepastian hukum, kondusif, transparan, dan akuntabel, disertai dukungan sistem informatika yang terarah pada pengembangan administrationatau e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi dan produktivitas masyarakat dan dunia usaha di seluruh wilayah negara. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi bagian dari masyarakat yang terus belajar (learning community), mengacu pada terwujudnya masyarakat maju, mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi. 
 
Peningkatan Kompetensi SDM, Aparatur. Sosok birokrat – ataupun SDM aparatur (pegawai negeri) pada umumnya - penampilannya harus profesional sekaligus taat hukum, netral, rasional, demokratik, inovatif, mandiri, memiliki integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berikut: 
  1. mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara, 
  2. memiliki kompetensi yangdipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik, berkemampuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif dan inovatif,  taat asas, dan disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional,  memiliiki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas), memiliki jati diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, serta bangga terhadap profesinya sebagai pegawai negeri.
  3. memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas. Selain itu perlu pula diperhatikan rewardsystem yang kondusi (baik dalam bentuk gaji maupun perkembangan karier yang didasarkan atas sistem merit; serta finalty system yang bersifat preventif dan repressif. 

Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negara juga perlu mengacu pada standar kompetensi internasional (world class). Selanjutnya, reformasi birokrasi dalam konsteks pembangunan sistem administrasi negara tersebut, baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan aktualisasi nilai dan prinsip-prinsip berikut. Pertama, demokrasi dan pemberdayaan. Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara dan seluruh unsur aparatur negara atas hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, dan pemberdayaan bagi mereka yang dalam posisi lemah secara rasional dan berkeadilan. Demokrasi tidak hanya mempunyai makna dan berisikan kebebasan, tetapi juga tanggung jawab; demokrasi juga mengandung tuntutan kompetensi dan bermakna kearifan dalam memikul tanggung jawab dalam mewujudkan tujuan bersama, yang dilakukan berkeadaban, disertai komitmen tinggi untuk menegakan kepentingan publik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Dalam hubungan itu, birokrasi dalam mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan, tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (“steering rather than rowing”), atau memilih kombinasi yang optimal antara steeringdan rowing apabila langkah tersebut merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan sosial yang maksimal. Yang jelas sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, tidak perlu dilakukan lagi oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau diberdayakan (empowered). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan pembangunan. Dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat direinvetingantara lain melalui pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat,  perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan  pengembangan program untuk lebih meningkatkan keamampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Kedua, pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat (“a spirit of public services”), dan menjadi mitra masyarakat (“partner of society”); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat (“co-productionatau partnership”). Hal tersebut memerlukam perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (“code of ethical conducts”) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (“enabling strategy”) yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah. Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku “melayani, bukan dilayani”, “mendorong, bukan menghambat”, “mempermudah, bukan mempersulit”, “sederhana, bukan berbelit-belit”, “terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang”. Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya “melayani publik”, harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara. Ketiga, transparansi. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, di samping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaaan dan sistem akuntabilitas, bersikap terbuka dan bertanggung jawab untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat; dan itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tanggung jawab dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara. Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan, mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan otoaktivitas mereka. serta  memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga memerlukan langkah-Iangkah yang tegas dalam dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat. Keempat, partisipasi. Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good and services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (“empowering rather than serving”), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan. Konsep pemberdayaan (“empowerment”) juga selalu dikaitkan dengan pendekatan partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hubungan itu perlu dicatat pentingnya peranan keswadayaan masyarakat, dan menekankan bahwa fokus pembangunan yang hakiki adalah peningkatan kapasitas perorangan dan kelembagaan (“capacity building”). Jangan diabaikan pula penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan peluang pembangunan nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah; serta privatisasi dalam pengelolaan usaha-usaha negara. Kelima, kemitraan. Dalam membangun masyarakat yang modern dimana dunia usaha menjadi ujung tombaknya, terwujudnya kemitraan, dan modernisasi dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah yang terarah pada peningkatan mutu dan efisiensi serta produktivitas usaha amat penting, khususnya dalam pengembangan dan penguasaan teknologi dan manajemen produksi, pemasaran, dan informasi.Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang saling menguntungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan pemerintah ditujukan kearah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijaksanaan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya. Dalam proses tersebut adanya kepastian hukum sangat diperlukan. Keenam, desentralisasi. Desentralisasi merupakan wujud nyata dari otonomi daerah, merupakan amanat konstitusi, dan respons atas tuntutan demokratisasi dan globalisasi. Peningkatan kompetensi dan Penguatan kelembagaan sangat diperlukan dalam mewujudkan format otonomi daerah tersebut, termasuk kemampuan dalam proses pengambilan keputusan dan pemberian perizinan, yang tetap terarah pada keterikatan dan pada perwujudan cita-cita dan tujuan NKRI. Perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan dan pelayanan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, kewenangan, dan tangungjawab yang ada di daerah. Karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah, berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Langkah-Iangkah serupa perIu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya perusahaan-perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di daerah. Perbedaan perkembangan antar daerah mempunyai implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerIukan desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi, penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangunan daerah, serta ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah. Ketujuh, konsistensi kebijakan, dan kepastian hukum. Tegaknya hukum yang berkeadilan secara efektif merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pernerintahan yang baik dan bersih, justru di tengah kemajemukan, merajalelanya KKN termasuk money politics, berbagai ketidakpastian  perkembangan lingkungan, dan menajamnya persaingan. Peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan indikator professionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan. Sebab berbagai kebijakan publik tersebut pada akhirnya harus dituangkan dalam sistem perundang-undangan untuk memiliki kekuatan hukum dan harus mengandung kepastian hukum. Wujud dari cita-cita reformasi birokrasi adalah berupa sistem dan proses pemerintahan negara berdasarkan hukum yang merupakan perwujudan atas nilai peradaban dan kemanusiaan yang luhur, dilaksanakan dengan penuh kearifan, ketaatan, atau kepatuhan sebagai aparatur negara, warga negara, dan warga masyarakat dunia. Dengan demikian hukum dapat ditempatkan pada tingkat yang paling tinggi, yang pada akhirnya tidak boleh lagi menjadi subordinasi dari bidang-bidang lain, tapi menghikmati bidang-bidang lain. Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mencapai tegaknya supremasi hukum, sehingga kepentingan ekonomi dan politik tidak dapat lagi memanipulasi hukum sebagaimana lazimnya terjadi. Pembangunan hukum sebagai sarana mewujudkan supremasi hukum, harus diartikan bahwa hukum termasuk penegakan hukum, harus diberikan tempat yang strategis sebagai instrumen utama yang akan mengarahkan, menjaga dan mengawasi jalannya pemerintahan. Hukum juga harus bersifat netral dalam menyelesaikan potensi konflik dalam hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang jelas, dan integritas yang tinggi. Selain itu penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap HAM benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk menjamin adanya pemerintah yang bersih (clean government) serta kepemerintahan yang baik (good governance), maka pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi asas-asas kewajiban prosedural (fairness), pertanggungjawaban publik (acqountability) dan dapat dipenuhi kewajiban untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). Akuntabilitas secara filosofik timbul karena adanya kekuasaan yang berupa amanahyang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan, serta berdasarkan visi, misi, dan strategi. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang diberikan amanah harus memberikan laporan atas tugas yang telah dipercayakan kepadanya, dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, ataupun dirasakan, yang mencerminkan keberhasilan dan kegagalan. Dengan kata lain laporan akuntabilitas bukan sekedar laporan kepatuhan dan kewajajaran pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi juga termasuk berbagai indikator kinerja yang dicapai, di samping kewajiban untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini si penerima amanah harus dapat dan berani mengungkapkan dalam laporannya semua kegagalan yang terjadi berkenaan dengan kebijakan yang teIah dikeluarkan oleh pihak yang lebih tinggi. Secara analitik, akuntabilitas dapat pula dilihat dari segi internal dan eksternal. Secara internal, dapat pula diidentifikasi akuntabilitas spiritual seseorang. Dalam hubungan ini akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang seorang kepada Tuhannya. Hal ini adalah sesuai dengan tata nilai yang terkandung dalam konstitusi. Akuntabilitas ini meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu yang dijalankannya, hanya diketahui dan difahami yang bersangkutan. Semua tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan orang bersangkutan dengan Tuhan. Namun apabila betul-betul dilaksanakan dengan penuh iman dan taqwa, kesadaran akan akuntabilitas spiritual ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pencapaian kinerja kelembagaan. Itulah sebabnya mengapa seseorang dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil yang berbeda dengan orang lain, atau mengapa suatu instansi menghasilkan kuantitas dan kualitas yang berbeda terhadap suatu pekerjaan yang sama-sama dikerjakan oleh instansi lainnya walaupun uraian tugas pokok dan fungsinya telah nyata-nyata dijelaskan secara rinci. Akuntabilitas dapat pula dilihat dari sisi eksternal, yaitu akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang memenuhi akuntabilitas eksternal mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan sumber-sumber daya pemerintah yang lain, kewenangan, dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akuntabilitas eksternal lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia rnemang sudah jelas. Kontrol dan penilaian dari faktor ekternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalum suatu sistem dan prosedur kerja. Seorang atasan akan memantau pekerjaan bawahanya dan akan memberikan teguran apabila terjadi penyimpangan. Rekan kerja akan saling mengingatkan dalam pencapaian akuntabilitas masing-masing. Hal ini dapat terwujud dikarenakan ada saling ketergantungan di antara mereka. Masyarakat dan lembaga-Iembaga pengontrol dan penyeimbang akan bersuara dengan lantang apabila pelayanan yang diterimanya dari birokrasi tidak seperti yang diharapkannya. Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maka keberpihakan birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi lebih besar serta dapat mempertahankan posisi netralnya. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah ini juga akan menjadi semacam sistem pengendalian internal bagi birokrasi. D. PENUTUP Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi negara. Dalam konteks SANKRI, reformasi administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum yang efektif” (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN. Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemajuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI. Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa. Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi kepada pelakunya (law enforcement). Di samping itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang merupakan musuh publik. Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap dan memberitakan tindak korupsi. Pengembangan budaya maIu harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling). Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu keranka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar